Antara Aku,
Kau, dan, Dia
Oleh : Wydia Eka
Cinta memang menjadi
persoalan rumit bagi setiap orang, datang tiba-tiba dan mungkin juga pergi
dengan hati yang perih dan sakit. Bahkan ada cinta yang berakhir dengan
kebahagiaan dan senyum manis, ada juga yang meninggalkan tangis. Cinta memang
tak dapat dipaksakan, meski dipaksakan itu hanya akan menyisakan perih. Aku
percaya, cinta yang sempurna akan datang tanpa harus direncanakan. Yang terbaik
memang tak selalu datang lebih awal. Meski begitu, semua harus dijalani dengan
semestinya.
****
Namaku Hima, lengkapnya Himawati.
Sekarang ini aku bersekolah di SMK Tunas Kelapa. Di sekolah itu aku menjalani
hari-hariku dengan penuh keceriaan, diwarnai dengan canda tawa teman-teman
sekelasku. Sebagai anak kelas XI yang sibuk, aku biasa menyempatkan waktu pergi
ke perpustakaan. Entah, disana membaca buku atau menggambar manga. Setidaknya,
sehari tak pernah ku lewatkan untuk berkunjung.
Senin pagi aku bangun dengan keadaan
masih mengantuk, tapi ku coba untuk membuka mataku lebar-lebar. Ku berjalan dengan
mata yang sayu menuju kamar mandi, lalu aku berendam dengan air hangat, karena
pagi ini begitu dingin. Dengan kehangatan berendam ini membuatku nyaman dan tak
kusadari aku kembali tertidur. Hingga setengah wajahku terendam, aku baru sadar
dan melihat jam menunjukkan pukul 06.30 . Aku segera bergegas membersihkan diri
dan bersiap untuk berangkat, tanpa sarapan sedikitpun. Aku keluarkan sepeda
miniku dan bersiap menaikinya, hingga ibu memanggilku.
“Hima,
apakah kamu sudah sarapan?” tanya Ibukku.
“Belum
bu, maaf aku terburu-buru.”
“Dasar
anak itu, selalu saja terlambat.”
Ku kayuh sepedaku dengan cepat,
menerobos penyepeda lain yang juga berangkat sekolah. Namun, bukan dari
sekolahku , hanya sekolahku yang menerapkan aturan kepada siswanya agar sampai
disekolah 15 menit sebelum jam pelajaran untuk mendapat nilai tambahan.
Walaupun, aku hanya sekali mendapatkan itu. Itupun pertama kalinya, aku masuk
sekolah di SMK. Kali ini aku berusaha untuk sampai disekolah lebih awal. Dan
akhirnya aku sampai, lagi-lagi terlambat. Dari belakangku terdengar seseorang
berteriak.
“Hey.....awas”
teriak laki-laki itu
“Aaa.....”
teriakku sambil terjatuh
“Aduh.....eh,
maaf. Aku tidak sengaja.”
“Heh.....tidak
apa-apa,”
“Sini,
biar aku bantu (sambil mengulurkan tangan)” ajak laki-laki yang terlihat asing
itu
“Terima
kasih”
“Sekali
lagi, maaf ya. sampai jumpa.”
“Ya,
sampai jumpa.”
Sambil merapikan buku-buku yang tadi
jatuh, aku menuntun sepedaku keparkiran sekolah. Segeraku menuju kekelas dan
ternyata jam pelajaran sudah dimulai, akupun sedikit terlambat. Aku duduk
setelah mendapat ijin dari guru. Beberapa saat kemudian ada seseorang yang
mengetuk pintu dan ternyata laki-laki tadi yang menabrakku. Dia memperkenalkan
diri lalu berjalan melewati aku dan duduk dibelakangku.
“Hei....(sambil
mengetukkan jarinya ke pundakku), kamu yang tadi kan?” tanya laki-laki itu.
“Iya.....”
“Aku
Hiro, salam kenal ya”
“Yeah,
aku Hima, salam kenal juga”
Jam pelajaran berlangsung, hingga
istirahat pun tiba. Seperti biasa aku ke perpustakaan dengan membawa buku
gambar dan kartu pinjaman. Ada suara langkah kakik yang terdengar keras dan
semakin keras. Sebuah tangan terjun kebahuku, dan terdengar suara laki-laki.
“Hai
Hima, kamu mau kemana?” sapanya
“Emt....aku
mau ke perpustakaan.”
“Aku
ikut ya?”
“Baiklah,
ayo.”
Suasana di perpustakaan sangat
tenang membuatku betah berlama-lama disitu sambil mengggambar manga atau komik.
Hiro juga tampak senang dengan memmbaca komik yang aku pinjam tadi. Walau baru
kenal, aku sudah merasa nyaman dengan Hiro. Mungkin karena kami punya hobi yang
sama yaitu membaca komik. Biasanya aku bersama Karin sahabatku, hari ini dia
sakit jadi aku sendiri.
Jam pelajaran pun dimulai lagi,
sampai waktu pulang tiba. Kali ini aku ditemani Hiro, karena dia juga sepedaku
lecet sedikit. Tapi, tak apa. Diperjalanan pulang aku dan Hiro cukup banyak
bercerita tentang kisah kami masing-masing. Hingga aku sampai didepan rumah,
Hiro meneruskan mengayuh sepedanya sambil sesekali tersenyum sedikit
kebelakang. Ku lihat Hiro menghilang dari pandanganku bagaikan kabut.
Keesokan harinya seperti biasa, aku
bersiap untuk berangkat ke sekolah. Kulangkahkan kaki keluar rumah dengan
membawa sepedaku, dan aku sedikit terkejut, karena Hiro sudah ada didepan rumah
dengan senyum manisnya. Aku dan Hiro bersenda gurau diperjalanan menuju
sekolah. Akhirnya kami sampai disekolah, dan langsung menuju kekelas. Dan
kebetulan Karin sudah masuk, lalu aku memperkenalkan dia pada Hiro.
Sejak hari itu aku, Hiro, dan Karin
jadi sahabat yang selalu bersama dan mendukung satu sama lain. Aku merasakan
kenyamanan bersama mereka, mereka selalu ada untukku. Bahkan kegiatan apapun
kami lalui bersama. Sebelum Hiro hadir diantara persahabatanku dengan Karin
semua indah dengan hadirnya Hiro menjadikannya lebih indah, susah dan senang
kami nikmati bersama.
Aku merasakan kenyamanan yang
berbeda saat aku dekat dengan Hiro. Bahkan akhir-akhir ini aku merasa sangat
gugup berada didekat Hiro. Saat Hiro berbicara padaku, aku tak berani
menatapnya. Tatapan dan senyumannya begitu melelehkan hatiku ini. Mungkinkah
ini cinta, baru ku sadari aku mencintai dirinya.
Hari-hariku selalu menyengankan
bagai pelangi yang penuh warna karena Hiro. Rasa sukaku padanya makin lama
makin besar, rasa sayangku padanya makin lama makin besar. Aku selalu berfikir,
apakah aku harus mengungkapkan perasaanku ini padanya ataukah ku pendam saja
rasa ini.
Dan aku memutuskan untuk mengungkapkan
perasaan ku ini. Sabtu sore, aku mengajak Hiro untuk berjalan-jalan di taman
dekat rumahku. Kami berjalan-jalan sambil bercerita dan akhirnya aku
mengajaknya duduk di bangku taman.
“Em....
Hiro, aku mau bicara sesuatu.” Tanyaku pada Hiro.
“
Bicara saja, memangnya aku pernah melarangmu berbicara.”
“
Tidak... aku aneh juga ya.”
“Aku
juga mau bercerita tengtang seseorang yang aku sukai.”
“Ya
sudah, kamu duluan yang cerita.”
“Begini,
sebenarnya aku itu suka dengan seseorang yang bahkan dia adalah sahabatku.”
“Sahabat....”
“iya,
aku suka dengan dia.”
“(mungkinkah
aku ....)” batin Hima.
“siapa
memangnya?”
“aku
suka dengan....ka....rin.”
Seketika itu hatiku rasanya sakit. Aku
tak bisa berkata-kata lagi, hatiku hancur berkeping-keping. Aku langsung
berdiri dan berlari meninggalkan Hiro. Aku tak kuasa membendung air mataku.
Hiro memanggilku, tapi aku tetap berlari tanpa menghiraukannya. Ku lihat dia
berusaha mengejarku, tapi aku berusaha untuk bersembunyi. Setelah ku rasa aman,
aku pun keluar dan sepertinya langit mendukung perasaan hatiku. Titik-titik
hujan turun satu per satu, membasahi jiwa dan ragaku. Aku menangis tanpa
seorang pun tahu, bahwa hatiku menangis.
Aku berlutut, karena ku tak sanggup
menahan sejuta perih ini. Tiba-tiba Hiro datang dan memelukku dengan erat.
Tapi, kenapa dia tahu aku masih disini.
“Hiro...”
“Hima,
kamu kenapa pergi meninggalkan aku. Aku kan jadi khawatir sama kamu.”
“Kenapa
kamu disini?”
“’Aku
dari tadi mencarimu dan akhirnya ketemu juga.”
“Aku....
tadi ada urusan lain.”
“Kamu
ini membuatku khawatir saja(sambil menarik hidungku).”
Sejak sabtu itu, aku berusaha
menghindari Hiro dan Karin. Aku ingin menenangkan diriku dari masalah itu.
Tapi, wajahnya masih terbayang dipikiranku. Ku lihat mereka terlihat semakin
akrab. Hatiku seakan retak karena ku lihat mereka. Sesekali Hiro menatapku dan
berusaha tersenyum, tapi aku hanya diam saja.
Beberapa hari kemudian sepulang
sekolah, aku menemukan selembar kertas menempel dikeranjang sepedaku. “Temui
aku ditaman dekat sekolah sore ini.” Isi memo itu. Tapi, siapa yang menulis
memo ini. Aku penasaran dan akhirnya aku menuju taman, ku lihat ada seorang
laki-laki berdiri membelakangi bangku taman. Dia membalikkan badannya dan
ternyata itu adalah Hiro.
“’Hiro......”
kagetku
“Iya.....
maaf membuatmu repot datang kemari. Ada hal yang ingin ku bicarakan.”
“Memangnya
apa?” tanya Hiro.
“Aku
tahu kenapa kamu menghindarikuku, kamu menyukaiku bukan?”
(bagaimana
dia tahu, aku tak pernah cerita pada siapa pun) batin Hima.
“Em.....Hi....Hi....ro,
a....ku....”( belum sempat terucap tangan Hiro menutup mulutku dan memelukku).
“Aku
tahu, aku juga menyukaimu.”
(Tidak
Hiro hanya suka Karin, bukan aku) batin Hima.
“Hiro....(sambil
melepas pelukannya) aku tahu kamu masih menyukai Karin, dan kamu mencoba menenangkan
aku dengan berkata begitu.”
“Tidak....”(ya,
aku masih menyukai Karin. Tapi, aku juga sayang padamu).
“Cinta
memang hal yang rumit ya, butuh kepercayaan dan tidak dapat dipaksakan. Jika
cinta dipaksakan tidak akan menghasilkan cinta yang sempurna.”
“Jadi,
apa keputusanmu?”
“Kita
jadi sahabat saja, jika suatu hari nanti bertemu kembali, mungkin kau pelengkap
hidupku.”
Pertemuan sore itu membuatku
memahami bahwa hal yang ku lakukan itu salah. Tak sepatutnya aku menghindari
mereka, karena mereka tak salah apapun. Aku memulai kembali semuanya, melupakan
semua yang telah berlalu, dan memulai hidup yang lebih indah lagi.
SELESAI